Rabu, 02 Oktober 2013

KELUARGA SEBAGAI SISTEM




            Di berbagai belahan dunia dengan beragam budaya dan sistem sosial, keluarga merupakan unit sosial terpenting dalam tatanan masyarakat. Keluarga merupakan warisan umat manusia yang terus dipertahankan keberadaannya dan tidak lekang oleh perubahan zaman. Berbagai perubahan karena faktor perkembangan zaman mempengaruhi corak dan kerakteristik keluarga, namun substansi keluarga tidak terhapuskan. Pada beberapa negara isu tentang kemerosotan nilai-nilai keluarga memang mengemuka. Meningkatnya angka perceraian dianggap salah satu indikasi dari merosotnya nilai-nilai keluarga/perkawinan. Walaupun demikian, berbagai kajian menunjukkan berbagai manfaat dari perkawinan Olson & Olson (Lestari, 2012:2-3) antara lain:
1.        Orang yang menikah memiliki gaya hidup yang lebih sehat. Orang yang menikah cenderung menghindari perilaku yang berbahaya daripada lajang, bercerai, atau duda. Misalnya orang yang menikah lebih sedikit bermasalah dengan minuman keras, yang sering terkait dengan masalah kecelakaan, konflik antarpribadi, dan depresi.
2.        Orang yang menikah hidup lebih lama. Hal ini disebabkan mereka memiliki dukungan emosi dari pasangan dan akses terdapat sumber daya ekonomi.
3.        Orang yang menikah memiliki kepuasan relasi seksual yang lebih baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika sekitar 54% laki-laki dan 43% perempuan yang menikah merasa sangat puas dengan relasi seksualnya.
4.        Orang yang menikah lebih sejahtera secara ekonomi. Orang yang menikah dapat menggabungkan pendapatannya sehingga dapat meningkatkan kemampuan ekonominya.
5.        Anak-anak pada umumnya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orang tua lengkap. Anak-anak dengan kedua orang tua yang tinggal serumah cenderung lebih baik secara emosi dan akademik. Untuk remaja, mereka lebih sedikit yang mengalami hamil sebelum menikah. Anak-abak dapat memperoleh perhatian yang lebih dari kedua orang tua, misalnya dalam hal pendampingan, bantuan untuk menyelesaikan tugas sekolah, dan kualitas kebersamaan.
Dalam ISLAM, Allah SWT mensyari’atkan pernikahan. Allah SWT Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, karena pernikahan itu dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat pernikahan adalah antara lain :
a.    Sebagai wadah penyaluran perasaan dan dorongan seksual antara laki-laki dan perempuan yang berlandaskan syari’at Allah SWT sekaligus sebagai bentuk ibadah amaliah kepada-NYA di dunia sampai akhirat. Serta, mengikuti sunnah Rasulullaah Muhammad SAW.
b.    Sebagai wahana membina keluarga yang dirahmati oleh Allah SWT. Karena keluarga adalah tiangnya agama dan Negara. Bila, satu keluarga rusak, maka agama dan Negara tersebut secara otomatis telah memiliki tiang yang rapuh.
c.    Sebagai waktu dan tempat dalam mendidik dan belajar, bagaimana cara membentuk keluarga yang stabil dan aman dalam suatu lingkungan masyarakat. Bila setiap keluarga itu stabil dan aman, maka lingkungan masyarakatnya pun akan stabil dan aman. Karena, lingkungan masyarakat itu terdiri dari keluarga-keluarga. Maka, kehidupan di setiap keluarga tersebut sangat amat menentukan kestabilan dan keamanan lingkungan itu sendiri.
d.    Sebagai sarana praktis dalam memelihara dan melestarikan keturunan ras manusia, dimana, Allah SWT telah menjadikan manusia itu sebagai khaliifah di muka bumi ini, dan pula, Allah SWT telah mengamanahkan kepada manusia untuk memelihara dan merawat serta menjaga bumi ini sebaik mungkin.
e.    Sebagai alat untuk menghindari dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang berdasarkan nafsu sesaat semata. Karena, nafsu sesaat itu adalah suatu hal yang akan menurunkan derajat manusia yang telah dimuliakan oleh Allah SWT kepada derajat hewan.

A.      Definisi Keluarga
Keluarga merupakan bagian dari masyarakat yang sesungguhnya mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk budaya dan perilaku sehat. Keluarga dapat didefinisikan dari berbagai macam orientasi dan cara pandang yang berbeda-beda. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang terdiri dari suami isteri, atau suami isteri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya.
Keluarga juga merupakan konsep multidimensional. Para ilmuan sosial bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga yang bersifat universal. George Murdock dalam bukunya social structure, menguraikan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi. Sementara itu, Ira Reiss (1965) mengajukan suatu ciri spesifik yang melekat dalam keluarga, yaitu proses sosialisasi yang disertai dukungan emosi yang disebutnya dengan sosialisasi pemeliharaan (nurturant socialization). Dengan demikian, menurut Reiss keluarga dalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru.
Pandangan berbeda diajukan oleh Weigrt dan Thomas (1971) menganggap definisi Reiss kurang bersifat nominal, karena menekankan pada berlakunya fungsi tertentu. Pandangan Weigrt dan Thomas didasarkan pada pentingnya suatu budaya ditransmisikan pada generasi berikutnya dalam rangka menumbuhkan anak-anak menjadi manusia yang dapat menjalankan fungsinya. Komponen budaya yang perlu ditransmisikan mereka sebut dengan pola-pola nilai yang bersifat simbolik (symbolic patternvalue). Jadi menurut mereka keluarga adalah suatu tatanan utama yang mengkomunikasikan pola-pola nilai yang bersifat simbolik kepada generasi baru.
Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), definisi keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional dan difinisi interaksional.
1.        Definisi struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family).
2.        Definisi fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.
3.        Definisi transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.
Berdasarkan beberapa definisi keluarga tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah ikatan sosial atas dasar pernikahan antara orang dewasa yang berbeda jenis kelamin dengan atau tanpa anak sebelumnya, baik anak adopsi atau anak kandung dan tinggal bersama dalam sebuah rumah tangga.

B.       Struktur Keluarga
Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu: suami – ayah, istri – ibu, dan anak – sibling (Lee, 1982). Struktur keluarga yang demikian menjadikan keluarga sebagai orientasi bagi anak, yaitu keluarga tempat dia dilahirkan.
Adapun keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya menyertakan posisi lain selain tiga posisi sosial (Lee, 1982). Bentuk pertama dari keluarga batih yang banyak ditemui di masyarakat adalah keluarga bercabang (stem family). Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak (hanya seorang) yang sudah menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua dari keluarga batih adalah keluarga berumpun (lineal family). Keluarga ini terjadi ketika lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Bentuk ketiga dari keluarga batih adalah keluarga beranting (fully extended). Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu keluarga terdapat generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama.
Menurut Lee (1982) kompleksitas sturktur keluarga tidak ditentukan oleh jumlah individu yang menjadi anggota keluarga tetapi oleh banyaknya posisi sosial yang terdapat dalam keluarga. Oleh karena itu, besaran keluarga (family size) yang ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota tidak identik dengan struktur keluarga (family structure). Walaupun keduanya memiliki pertalian yang positif, namun keduanya tetap merupakan jenis variabel berbeda. Keluarga inti dibangun berdasarkan ikatan perkawinan. Perkawinan menjadi pondasi bagi keluarga. Adapun keluarga batih dibangun berdasarkan hubungan antargenerasi, bukan antarpasangan. Keluarga batih biasanya terdapat dalam masyarakat yang memandang pentingnya hubungan kekerabatan.
Dari segi pemegang wewenang utama atas keluarga misalnya dalam hal menentukan siapa yang bertanggung jawab atas sosialisasi anak, pendistribusian wewenang, dan pemanfaatan sumber daya keluarga, maka keluarga dapat dibedakan menjadi matriarki (ibu sebagai pemegang utama wewenang atas keluarga), patriarki (ayah sebagai pemegang utama wewenang atas keluarga), dan egaliter (kesetaraan gender) (Berns, 2004).
Pada masyarakat kontemporer terdapat sederetan luas tipe keluarga (Kathryn & David Geldard, 2011) yang berbeda, meliputi:
a.    Keluarga luas (ibu, ayah, anak-anak, nenek, kakek, bibi, paman)
b.    Pasangan yang tidak mempunyai anak karena mereka memilih untuk tidak memiliki atau karena mereka tidak mampu memilikinya (suami dan istri/partner)
c.    Keluarga dengan orang tua tunggal (janda/duda dengan anak, orang yang bercerai yang memiliki anak, ibu yang tidak menikah tetapi memiliki anak baik anak kandung maupun adopsi)
d.   Ibu (remaja) yang memiliki anak dan tinggal bersama orang tua atau orang lain yang bukan merupakan bagian dari sistem keluarga
e.    Keluarga dengan anak kandung atau adopsi
f.     Keluarga campuran (salah satu atau kedua pasangan telah menikah sebelumnya dan membawa serta anak-anak dari pernikahan sebelumnya
g.    Keluarga komunal (kelompok keluarga dengan anak dan beberapa orang dewasa)
h.    Keluarga dengan jenis kelamin yang sama (pasangan lesbian/gay dengan atau tanpa anak)
Dalam kehidupan keluarga memang mempunyai tipe kehidupan yang berlainan antara satu dengan yang lainnya. Tipe-tipe keluarga ini akan sangat berpengaruh terhadap cara mendidik anak dan juga akan berpengaruh bagi perkembangan jiwa anak selanjutnya, bahkan dapat mempengaruhi kebahagiaan yang akan dicapai oleh keluarga tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Danuri (1976) bahwa tipe keluarga dibedakan menjadi enam tipe yaitu:
1.        Keluarga sibuk
Kehidupan keluarga yang sibuk selalu diikuti kesibukan semua anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ayah, ibu bahkan anak-anaknya juga harus ikut bekerja, sehingga orang tua kurang memperhatikan anak-anaknya.
2.        Keluarga lemah wibawa
Orang tua yang berwibawa akan berpengaruh terhadap sikap dan perbuatan anak-anaknya, begitu pula sebaliknya orang tua yang tidak berwibawa atau lemah wibawa. Oang tua yang kurang berwibawa terhadap anak-anaknya akan membuat anak berbuat sesuka hatinya, sehingga sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan yang telah ditetapkan orang tua. Dengan tidak adanya kewibawaan orang tua terhadap anak-anaknya maka pendidikan oleh orang tua dalam keluarga tidak dapat berlangsung dengan baik, karena anak merasa lebih pandai, sehingga anak tidak memperhatikan nasehat atau saran yang diberikan oleh orang tua.
3.        Keluarga tegang
Hubungan antar anggota keluarga kurang akrab, kurang adanya kasih sayang bahkan sering terjadi ketegangan hubungan antara ayah dan ibu. Hal ini akan berakibat pada anak yaitu tertanamnya rasa untuk memihak ayah atau ibu. Akibat dari keluarga tegang ini maka pendidikan terhadap anak bersifat keras, sehingga anak akan menjadi orang yang keras kepala, suka menang sendiri dan sebagainya.
4.        Keluarga retak
Dalam suasana keluarga yang retak, tidak ada lagi keharmonisan antara ayah dan ibu. Tidak adanya kesatuan pendapat, sikap dan pandangan terhadap suatu hal. Akibatnya anak-anak menjadi terlantar terutama pendidikan dalam keluarga karena tidak jarang anak-anak terpaksa ikut ayah atau ibu tiri sehingga anak merasa kurang mendapat kasih sayang dari orang tua.
5.        Keluarga pamer
Kehidupan keluarga yang senang pamer tidak mempunyai pegangan yang kuat atau ketetapan hati karena mereka sudah hanyut pada suasana yang baru, mereka tidak mau dikatakan ketinggalan, tapi yang diikuti akan kemajuan dalam arti yang sebenarnya. Mereka menitik beratkan kemajuan-kemajuan lahiriah yang berupa kemewahan, sedang sepi kerohanian kurang diperhatikan. Keluarga yang senang pamer biasanya iri terhadap kekayaan orang lain, dan rasa inilah yang mengakibatkan keluarga jadi tidak tentram dan menjadi sumber ketegangan di dalam keluarga.
6.        Keluarga ideal
Suasana dalam keluarga ini menyenangkan. Biasanya dialami keluarga yang tidak terlalu besar, mutu anggota keluarga tinggi, sumber penghasilan cukup, mempunyai pandangan hidup beragama yang kuat, hidup sederhana dan adanya saling pengertian antar anggota keluarga terutama ayah dan ibu.
Dilingkungan masyarakat Indonesia terdapat pula beberapa tipe keluarga, sebagai berikut:
a.         Keluarga bangsawan
Tipe keluarga ini terdapat di daerah kerajaan, di mana tingkat kebangsawanan masih dipegang teguh. Kadang tingkat kebangsawanan ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam proses perkawinan, perkawinan dapat dilangsungkan jika masing-masing pasangan memiliki gelar kebangsawanan yang setara agar gelar kebangsawanannya tetap terjaga.
Akan tetapi tradisi ini mulai terkikis. Terutama oleh generasi muda dari kalangan bangsawan sendiri. Umumnya mereka tidak lagi menghendaki keinginan orang tua mereka. Bahkan mereka merasa lebih hidup bebas jika meninggalkan gelar kebangsawanannya, khususnya dalam memilih jodoh. Akhir-akhir ini gelar kebangsawanan mulai terdesak dengan gelar pendidikan.
b.        Keluarga standar
Orientasi keluarga ini pada kekayaan. Umumnya keluarga ini adalah wiraswasta, pengusaha, pedagang atau pemilik perindustrian lainnya. Dalam hidup, mereka gigih mengumpulkan harta benda sebanyak-banyaknya. Kadang mereka kurang berpendidikan tapi memiliki strategi yang cukup baik dalam bidang bisnis. Mereka tidak kagum dengan gelar pendidikan tetapi mereka mengagumi orang-orang yang usahanya meningkat dan kekayaannya bertambah.
Status ekonomi sering menjadi pertimbangan dalam perkawinan. Mereka mau menikah dengan orang yang setara dengan tipe mereka, dengan maksud agar kekayaan mereka tidak jatuh kepada orang yang bukan saudagar. Calon yang bersangkutan harus menerima pilihan keluarganya, bahkan sering terjadi perkawinan dengan keluarga yang masih dekat yang berdampak negatif, misalnya keturunannya mengalami kecacatan karena hubungan darah yang terlalu dekat. Tradisi ini mulai terkikis oleh generasi muda dari keluarga ini. Mereka mulai meninggalkan usahanya dan memilih meraih gelar sarjananya serta memilih pasangan yang dicintainya.
Tipe keluarga ini memiliki hubungan antar keluarga yang sangat erat. Mereka bekerja sama dalam hal bisnis antar keluarga dalam rangka memberikan bimbingan untuk keluarganya.
c.         Keluarga petani
Keluarga ini mengutamakan pekerjaan bertani dan menganggap pekerjaan lain tidak sesuai untuk dirinya. Keluarga ini menginginkan keturunannya juga adalah petani, pendidikan dianggap tidak penting dan hanya akan menghabiskan biaya.
Umumnya mereka sangat mengutamakan tempat tinggal, sehingga mereka membuat rumah yang megah, besar dan bagus. Terkadang kurang memperhatikan sandang dan pangan. Kesuksesan diukur dari megahnya tempat tinggal dan banyaknya panen.
d.        Keluarga intelek
Keluarga ini mendambakan intelektualitas ataupun pendidikan. Keturunannya diharapkan mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya, gelar sarjana menjadi batas minimum dalam keluarga. Orang tua akan sangat kecewa jika anaknya gagal dalam studi.
Keluarga ini menghendaki pasangan yang setara bagi keturunannya, sangat mementingkan gengsi, harga diri, dan selalu berusaha menyumbangkan pemikirannya dalam masyarakat. Keluarga ini pun mementingkan sandang, pangan, dan papan, mereka akan sangat malu jika keluarganya kena cela dalam masyarakat.
e.         Keluarga pegawai
Keluarga ini bahagia jika menjadi pegawai negeri, apapun jabatannya baik berpangkat tinggi atau rendah. Keluarga ini tidak akan lagi dipusingkan dengan cara mencari nafkah untuk hari ini dan esok karena telah ada ketetapan pendapatan setiap bulan. Bagi keluarga ini, berwiraswasta hanyalah pekerjaan sampingan. Keluarga ini menginginkan keturunannya menjadi pegawai negeri.

C.      Relasi Dalam Keluarga
Pada umumnya keluarga dimulai dengan pernikahan laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi pasangan suami istri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sibling (saudara sekandung). Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk relasi yang pokok dalam suatu keluarga inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarg batih, bentuk-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi, misalnya kakek/nenek-cucu, mertua-menantu, saudara ipar, dan paman/bibi-keponakan. Setiap bentuk relasi yang terjadi dalam keluarga biasanya memiliki karakteristik yang berbeda. Berikut ini dipaparkan karakteristik relasi tersebut.
1. Relasi Pasangan Suami Istri
Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Calhoun & Acocella, 1995).
Terdapat tiga indikator bagi proses penyesuaian sebagaimana diungkapkan Glenn (2003), yakni konflik, komunikasi, dan berbagi tugas rumah tangga. Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang positif merupakan salah satu komponen dalam melakukan resolusi konflik yang konstruktif. Walaupun demikian, komunikasi berperan penting dalam segala aspek kehidupan perkawinan, bukan hanya dalam resolusi konflik. Peran terpenting komunikasi adalah untuk membangun kedekatan dan keintiman dengan pasangan. Bila kedekatan dan keintiman suatu pasangan dapat senantiasa terjaga, maka hal itu menandakan bahwa proses penyesuaian keduanya telah berlangsung dengan baik.
Dalam proses perkawinan yang tradisional berlaku pembagian tugas dan peran suami istri. Konsep ini lebih mudah dilakukan karena segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi tanggung jawab istri, sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Namun tuntutan perkembangan kini telah semakin mengaburkan pembagian tugas tradisional tersebut. Kenyataan terus meningkatnya kecenderungan pasangan yang sama-sama bekerja membutuhkan keluwesan pasangan untuk melakukan pertukaran atau berbagi tugas dan peran baik untuk mencari nafkah maupun pekerjaan domestik. Selain itu, kesadaran tentang pentingnya peran ayah dan ibu dalam perkembangan anak juga mendorong keterlibatan pasangan untuk bersama-sama dalam pengasuhan anak. Keberhasilan dalam membangun kebersamaan dalam pelaksanaan kewajiban keluarga menjadi salah satu indikasi bagi keberhasilan penyesuaian pasangan.
Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan. Istilah kualitas perkawinan biasanya dipadankan dengan kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan (Glenn, 2003). Keduanya sama-sama menunjuk pada suatu perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan. Perbedaannya adalah bila kebahagiaan perkawinan berdasarkan pada evaluasi afektif, sedangkan kepuasan perkawinan berdasarkan pada evaluasi kognitif.
Menurut David H. Olson dan Amy K. Olson (2000) terdapat sepuluh aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia, yaitu: komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, resolusi konflik, kegiatan di waktu luang, keluarga dan teman, pengelolaan keuangan, dan keyakinan spiritual. Di antara sepuluh aspek tersebut, lima aspek yang lebih menonjol adalah komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, dan resolusi konflik.
a.    Komunikasi
Komunikasi merupakan aspek yang paling penting, karena berkaitan dengan hampir semua aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari semua diskusi dan pengambilan keputusan di keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karir, agama bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat, dan kebutuhan akan tergantung pada gaya, pola, dan keterampilan berkomunikasi. Kenterampilan dalam berkomunikasi daapt terwujud dalam kecermatan memilih kata yang digunakan dalam menyampaikan gagasan pada pasangan. Pemilihan kata yang kurang tepat dapat menimbulkan kesalahan persepsi pada pasangan yang diajak berbicara. Intonasi dalam melakukan komunikasi juga perlu diperhatikan. Penekanan pada kata yang berbeda, meskipun dalam kalimat yang sama dapat menimbulkan respon perasaan yang berbeda pada pasangan.hal ini berkaitan dengan kesediaan dan kemampuan mengungkapkan diri (self-disclosure). Pengungkapan diri adalah menyampaikan informasi pribadi yang mendalam, atau segala hal yang kemungkinan orang lain tidak mengerti bila tidak diberitahu. Informasi tersebut berupa gagasan dan pemikiran, impian dan harapan maupun perasaan positif dan negatif.
Kesalahpahaman dalam komunikasi dapat menimbulkan konflik, yang sering terjadi karena menggunakan gaya komunikasi negatif. Misalnya salah satu pihak merasa dituduhsebagai yang bersalah dan telah melakukan hal yang menyakiti pasangannya, semetara pasangannya tidak bermaksud demikian. Gaya komunikasi negatif biasanya menggunakan pernyataan “kamu”. Akan berbeda halnya jika salah satu pihak lebih menekankan pada penyampaian secara asertif hal yang dirasakannya sebagai dampak dari perilaku pasangan. Dengan demikian, pihak yang menerima pesan mendapatkan kesempatan melakukan evaluasi diri terhadap tindakannya tanpa merasa dituduh bersalah dan bermaksud menyakiti hati pasangannya. Gaya komunikasi positif biasanya menekankan sikap asertif dan menggunakan pernyataan “aku”. Sebagai contoh kedua pernyataan berikut dapat dibandingkan.
Pernyataan ‘kamu’   :  “kamu sengaja ingin mempermalukan diriku di hadapan teman-teman”.
Pernyataan ‘aku’      :  “aku merasa malu saat kamu melakukan tindakan seperti tadi di hadapan teman-teman”.
Waalaupun demikian sikap asertif dan pernyataan “aku” akan lebih berguna bila dinyatakan dalam suasana emosi yang positif. 
b.    Fleksibilitas
            Fleksibilitas pasangan merefleksikan kemampuan pasangan untuk berubah dan beradaptasi saat diperlukan. Hal ini berkaitan dengan tugas dan peran yang muncul dalam relasi suami istri (role relationship). Misalnya dalam hal kepemimpinan dan kekuasaan, serta kemampuan bertukar tanggung jawab dan mengubah peran. Dalam relasi suami istri memang diperlukan adanya kejelasan dalam pembagian peran yang menjadi tanggung jawab suami dan menjadi tanggung jawab istri. Namun demikian, pembagian peran tersebut seyogianya tidak bersifat kaku dan dapat disesuaikan melalui kesepakatan yang dibuat bersama berdasarkan situasi yang dihadapi oleh pasangan suami istri.
c.    Kedekatan Pasangan
Kedekatan pasangan menggambarkan tingkat kedekatan emosi yang dirasakan pasangan dan kemampuan menyeimbangkan antara keterpisahan dan kebersamaan. Hal ini mencakup kesediaan untuk saling membantu, pemanfaatan waktu luang bersama, dan pengungkapan perasaan dekat secara emosi. Pentingnya kedekatan dan kebersamaan tidak mengharuskan pasangan untuk selalu bersama-sama. Kedekatan yang berlebihan sama halnya dengan tiadanya kedekatan, juga kurang sehat bagi pasangan. Pasangan yang terperangkap dalam ketidakseimbangan antara keterpisahan dan kebersamaan akan mengalami banyak masalah.
            d.   Kecocokan Kepribadian
Kecocokan kepribadian berarti bahwa sifat atau perilaku pribadi salah satu pasangan tidak berdampak atau dipersepsi negatif oleh yang lain. Kecocokan kepribadian tidak ditentukan seberapa banyak kesamaan sifat pribadi dan hobi. Perbedaan sifat dan kesenangan tidak akan menjadi masalah selama ada penerimaan dan pengertian. Penerimaan masing-masing pasangan terhadap faktor kepribadian yang sulit berubah akan berdampak positif pada kebahagiaan yang dirasakan.
            e.    Resolusi Konflik
Aspek resolusi konflik berkaitan dengan sikap, perasaan dan keyakinan individu terhadap keberadaan dan penyelesaian konflik dalam relasi pasangan. Hal ini mencakup keterbukaan pasangan untuk mengenali dan menyelesaikan masalah, strategi dan proses yang dilakukan untuk mengakhiri pertengkaran. Terdapat suatu pandangan yang salah kaprah yang mengnganggap konflik pasangan adalah suatu masalah sehingga harus dihindari. Kunci kebahagiaan pasangan bukanlah menghindari konflik melainkan bagaimana cara yang ditempuh dalam menyelesaikan konflik. Strategi resolusi konflik pasangan dapat dibedakan menjadi yang destruktif dan konstruktif. Resolusi konflik yang konstruktif dapat dilakukan dengan:
1)   Menentukan pokok permasalahan
2)   Mendiskusikan sumbangan masing-masing pada permasalahan yang muncul
3)   Mendiskusikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah
4)   Menentukan dan menghargai peran masing-masing terhadap penyelesaian masalah
Dua hal yang membuat resolusi konflik tidak efektif adalah tindakan menyalahkan orang dan mengungkit persoalan yang telah lalu.
            f.     Relasi Seksual
Relasi seksual merupakan barometer emosi dalam suatu hubungan yang dapat mencerminkan kepuasan pasangan terhadap aspek-aspek lain dalam hubungan. Suatu relasi seksual yang baik sering kali merupakan akibat dari relasi emosi yang baik antara pasangan. Namun urusan seks sering kali menjadi hal yang sulit untuk dibicarakan. Perbedaan tingkat ketertarikan terhadap seks merupakan salah satu hal yang sering menjadi ganjalan dalam relasi pasangan. Selain itu kurangnya sikap dan tindakan afeksi terhadap pasangan juga berpengaruh terhadap kepuasan relasi seksual. Oleh karena kualitas relasi seksual merupakan kekuatan penting bagi kebahagiaan pasangan, maka kualitas tersebut perlu dijaga atau ditingkatkan melalui komunikasi seksualitas antara pasangan. Komunikasi seksualitas akan membantu pasangan untuk saling memahami perspektif masing-masing terhadap kebutuhan dan ketertarikan seksual. Dalam komunikasi seksual, komunikasi nonverbal dapat membantu untuk menunjukkan afeksi terhadap pasangan.
            g.    Masalah Ekonomi
Persoalan ekonomi sering menjadi salah satu pemicu utama perceraian. Walaupun demikian, persoalan pokoknya bukanlah pada besaran pendapatan keluarga, karena masih banyak pasangan yang mampu bertahan dengan pendapatan yang rendah. Pengelolaan keuangan merupakan pokok dari persoalan ekonomi yang dapat berupa perbedaan pasangan dalam hal pembelanjaan dan penghematan uang, perbedaan pandangan tentang makna uang, dan kurangnya perencanaan untuk menabung. Keseimbangan antara pendapatan dan belanja keluarga harus menjadi tanggung jawab bersama.
            h.    Pemanfaatan Waktu Luang
Pemanfaatan waktu luang menjadi sarana untuk melakukan aktivitas jeda (time out) dari rutinitas, baik rutinitas kerja maupun rutinitas pekerjaan rumah tangga. Rutinitas dengan tingkat stres yang tinggi biasanya akan menimbulkan kejenuhan yang dapat menyebabkan berkembangnya emosi negatif, kegiatan time out dapat berfungsi seperti mengisi ulang baterai yang habis, yaitu memberi energi dan semangat yang baru. Pemanfaatan waktu luang ini dapat dilakukan sendiri, bersama anggota keluarga yang lain, atau dengan sahabat.
            i.      Hubungan Keluarga dan Teman
Keluarga dan teman merupakan konteks yang penting bagi pasangan dalam membangun relasi yang berkualitas. Keluarga banyak mempengaruhi kepribadian, selain itu keterlibatan orang tua daapt memperkuat atau memperlemah kualitas relasi pasangan. Teman sering kali menjadi penyangga bagi pasangan ketika sedang menghadapi persoalan, yakni sebagai tempat meminta pertimbangan dan bantuan.
            j.      Spiritualitas dan Keimanan
Spiritualitas dan keimanan merupakan dimensi yang paling kuat bagi pengalaman manusia. Keyakinan spiritual memberi landasan bagi nilai-nilai yang dipegang dan perilaku sebagai individu dan pasangan.spiritualitas merujuk pada kualitas batin yang dirasakan individu dalam hubungannya dengan Tuhan, makhluk lain, dan nurani. Keyakinan spiritual sering menjadi sandaran ketika seseorang mengalami kesulitan dan kepahitan hidup. Masalah spiritual dapat menjadi sumber masalah bagi pasangan dalam hal perbedaan praktik keagamaan, tidak diintegrasikannya keyakinan spiritual dalam relasi pasangan, dan kurangnya diskusi dalam soal-soal keagamaan.
Sebaliknya keyakinan spiritual dapat menjadi pondasi terpenting bagi kebahagiaan pasangan. Hal ini daapt terjadi bila pasangan menyadari bahwa keimanan memberikan makna dalam hidup. Selain itu keterlibatan secara rutin dalam kegiatan keagamaan di masyarakat dapat berperan memasok energi baru, perasaan kebersamaan dan memberi konteks bagi tindakan. Keimanan juga dapat menjadi tempat berlindung manakala berada dalam situasi tidak berdaya, terpuruk, atau menderita setelah mengalami suatu tragedi.
Kualitas perkawinan dapat mempengaruhi berlangsungnya proses-proses lain dalam keluarga, misalinya pengasuhan dan performansi individu. Pasangan yang memiliki derajat kepuasan perkawinan yang tinggi akan memberikan perhatian secara lebih positif pada anak (Rickard, Forehand, Atkeson & Lopez, 1982). Kepuasan perkawinanjuga ditenggarai mempunyai kaitan dengan terjadinya kekerasan terhadap pasangan (Stith, Green, Smith & Ward, 2008), masalah perilaku dan penyesuaian anak (Frick, Lahey, Hartdagen & Hynd, 1989; Fishman & Meyers, 2000), dan prediksi terhadap kesejahteraan orang tua (Shek, 2000). Mengingat hal-hal tersebut, pasangan menikah perlu didorong untuk mengembangkan aspek-aspek yang dapat meningkatkan kepuasan perkawinan agar dapat mewujudkan keluarga yang bahagia dan generasi yang berkualitas.
2. Relasi Orang Tua – Anak
Menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang harus dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitan perkawinan.selain itu, kajian psikologis juga memperlihatkan bahwa perempuan menjalani transisi yang lebih sulit dari laki-laki (John & Belsky, 2009). Apabila masalah ini berkaitan dengan pilihan antara mengurus anak dan kesempatan ekonomis. Dukungan dari sanak keluarga sangat diperlukan agar perempuan tidak berjuang dengan susah payah dalam menjalankan fungsi keibuannya dengan baik. Bila dukungan sanak keluarga sangat kurang, maka keterlibatan dan dukungan suami menjadi andalan.
Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan hubungan (Thompson, 2006). Pengalaman mereka sepanjang waktu bersama orang-orang yang mengenal mereka dengan baik, serta berbagai karakteristik dan kecenderungan yang mulai mereka pahami merupakan hal-hal pokok yang mempengaruhi perkembangan konsep dan kehidupan sosial mereka. Menurut Thompson, hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain sejak dini. Suatu hubungan dengan kualitas yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan, misalnya penyesuaian, kesejahteraan, perilaku prososial dan transmisi nilai. Sebaliknya, kualitas hubungan yang buruk dapat menimbulkan akibat berupa malasuai, masalah perilaku, atau psikopatologi pada diri anak.
Dalam tinjauan psikologi perkembangan, pandangan tentang relasi orang tua-anak merujuk pada teori kelekatan (attachment theory) yang pertama kali dicetuskan oleh John Bowlby (1969). Bowlby mengidentifikasikan pengaruh perilaku pengasuhan sebagai faktor kunci dalam hubungan orang tua-anak yang dibangun sejak usia dini. Pada masa awal kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan orang dewasa yang secara teratur merawatnya. Kelekatan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan khusus antara bayi dan pengasuhnya. Kelekatan dicirikan sebagai hubungan timbal balik antara sistem kelekatan dari anak dan sistem pengasuhan dari orang tua. Pengertian yang lebih luas dari kelekatan diungkapkan oleh Mercer (2006), yakni sebagai ikatan emosi yang terjadi di antara manusia yang memandu perasaan dan perilaku.
Selain teori kelekatan, hubungan orang tua-anak juga dapat dijelaskan dengan pendekatan taori penerimaan dan penolakan orang tua (parental acceptance-rejection theory) yang dikembangkan oleh Rohner. Penerimaan dan penolakan orang tua membentuk dimensi kehangatan dalam pengasuhan, yaitu suatu kualitas ikatan afeksi antara orang tua dan anak. Dimensi kehangatan merupakan suatu rentang kontinum, yang di satu sisi ditandai oleh penerimaan yang mencakup berbagai perasaan dan perilaku yang menunjukkan kehangatan, afeksi, kepedulian, kenyamanan, perhatian, perawatan, dukungan dan cinta. Adapun sisi lain ditandai oleh penolakan yang mencakup ketiadaan atau penarikan berbagai perasaan atau perilaku tersebut, dan adanya berbagai perasaan atau perilaku yang menyakitkan secara fisik maupun psikologis (seperti tidak menghargai, penelantaran, tak acuh, caci maki dan penyiksaan). Menurut Rohner dkk, persepsi anak terhadap penerimaan dan penolakan orang tua atau sosok signifikan yang lain akan mempengaruhi perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang dikembangkan dalam menghadapi masalah.
Kajian tentang hubungan orang tua-anak dapat dibagi ke dalam dua masa yaitu sebelum berkembangnya paham dua arah (bidirectionality) pada akhir tahun 60-an dan setelahnya (Chen, 2009). Pada masa berkembangnya paham satu arah (unidirectionality), penelitian tentang hubungan orang tua-anak memfokuskan pada mengenali strategi pengasuhan, praktik-praktik, perilaku, gaya dan pembawaan yang berakibat pada anak, misalnya kompetensi, perkembangan yang sehat, prestasi akademik dan problem perilaku. Setelah berkembangnya paham dua arah, area penting yang menjadi fokus penelitian adalah kaitan antara interaksi orang tua-anak dan relasi yang terbentuk. Interaksi dan waktu merupakan dua komponen mendasar bagi relasi orang tua-anak (Hinde, 1976). Menurut Hinde relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip pokok, yaitu:
a.    Interaksi. Orang tua dan anak berinteraksi pada suatu waktu yang menciptakan suatu hubungan. Berbagai interaksi tersebut membentuk kenangan pada interaksi di masa lalu dan antisipasi terhadap interaksi di kemudian hari.
b.    Kontribusi mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi keduanya.
c.    Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau dengan anak lain.
d.   Pengharapan masa lalu. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan bertindak pada suatu situasi. Demikian pula sebaliknya anak kepada orang tuanya.
e.    Antisipasi masa depan. Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.
Orang tua ingin remaja mereka bertumbuh menjadi individu yang dewasa secara sosial, dan mereka seringkali merasa putus asa dalam peran mereka sebagai orang tua. Para psikolog sudah lama mencari resep untuk peran orang tua yang menghasilkan perkembangan sosial yang tepat pada remaja. Penelitian awal memusatkan pada perbedaan antara disiplin fisik dan psikis, atau antara orang tua yang mengendalikan dan yang bersifat permisif.
Pandangan yang paling dikenal adalah pandangan Diana Baumrind yang meyakini bahwa orang tua seharusnya tidak bersifat menghukum maupun menjauhi remaja, tetapi sebaliknya membuat peraturan dan menyayangi mereka. Baumrind menekankan tiga jenis pola asuh yang daapt diterapkan orang tua kepada anak yaitu autoritarian, autoritatif, dan permisif. Baru-baru ini para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan bersifat permisif terdiri dari dua macam – bersifat memanjakan dan bersifat tifak peduli.
Pola asuh autoritarian adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Oarng tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas pada anak dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berdampak pada perilaku sosial anak yang tidak cakap.
Pengasuhan autoritatif mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindaka-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati anak. Pengasuhan autoritatif berdampak pada perilaku sosial anak yang kompeten.
Pola pengasuhan permisif-tidak peduli adalah suatu pola asuh dimana orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan anak. Pengasuhan ini berdampak pada perilaku sosial anak yang tidak cakap terutama kurangnya pengendalian diri dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik.
Pola pengasuhan permisif-memanjakan adalah suatu pola di mana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif-memanjakan membuat anak tidak cakap secara sosial dan kurangnya pengendalian diri. Orang tua yang bersifat permisif memanjakan mengijikan anaknya melakukan apa saja yang mereka inginkan, dan akibatnya anak tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka dan berharap mereka bisa mendapatkan semua keinginannya.
3. Relasi Antarsaudara
Kesadaran tentang keluarga berencana telah memunculkan norma keluarga kecil, namun sebagian besar orang tua masih mengizinkan setidaknya memiliki dua anak. Para psikolog sebagaimana halnya orang tua, memiliki keyakinan bahwa keberadaan saudara baik kandung, tiri maupun adopsi, berpengaruh dalam kehidupan anak-anak. Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang berlangsung dalam jangka panjang. Pola hubungan yang terbangun pada masa kanak-kanak dapat bertahan hingga dewasa. Hubungan dengan saudara dapat mempengaruhi perkembangan indvidu, secara positif maupun secara negatif tergantung pola hubungan yang terjadi.
Pada masa kanak-kanak pola hubungan dengan saudara dipengaruhi oleh empat karakteristik: jumlah saudara, urutan kelahiran, jarak kelahiran dan jenis kelamin (Steelman & Koch, 2009). Pola hubungan antar saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara orang tua dalam memperlakukan mereka. Perbedaan perlakuan orang tua terhadap anak dapat berpengaruh pada kecemburuan, gaya kelekatan, dan harga diri yang pada gilirannya bisa menimbulkan distres pada hubungan romantis di kemudian hari (Rauer & Volling, 2007).
Menurut Dunn (2002) pola hubungan saudara kandung memiliki tiga karakteristik. Pertama: kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai hubungan dengan saudara dapat berupa emosi negatif maupun emosi positif. Kedua: keintiman yang membuat antar saudara kandung saling mengenal secara pribadi. Keintiman ini dapat menjadi sumber bagi dukungan maupun konflik. Ketiga: adanya erbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan di antara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerjassama dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan, dan perilaku yang agresif yang memperlihatkan adanya ketidaksukaan satu sama lain.
Manfaat keberadaan saudara kandung (Ihinger Tallman & Hsiao, 2003), antara lain:
a. tempat uji coba (testing ground). Saat bereksperimen dengan perilaku baru, anak akan mencobanya terhadap saudaranya sebelum menunjukkannya pada orang tua atau teman sebayanya.
b. sebagai guru. Biasanya anak yang lebih besar, karena memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak, akan banyak mengajari adiknya.
c. sebagai mitra untuk melati keterampilan negosiasi. Saat melakukan tugas dari orang tua atau memanfaatkan alokasi sumber daya keluarga, akak beradik bisanya akan melakukan negosiasi mengenai bagian masing-masing.
d. sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama dan konflik.
e. sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan kesetiaan.
f. sebagai pelindung bagi saudaranya.
g. sebagai penerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya terhadap adiknya.
h. sebagai pembuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku dikenalkan pada keluarga.

D.      Fungsi Keluarga
Menurut Berns (2004), keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu:
1.        Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada di masyarakat.
2.        Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
3.        Penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identifikasi pada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi dan peran gender.
4.        Dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan, dan jaminan kehidupan.
5.        Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman interkasi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.
Disamping fungsi keluarga tersebut, terdapat pula tujuh fungsi keluarga secara umum yaitu:
1. Fungsi pengaturan seksual
2. Fungsi reproduksi
3. Fungsi perlindungan dan pemeliharaan
4. Fungsi pendidikan
5. Fungsi sosialisasi
6. Fungsi afeksi dan rekreasi
7. Fungsi ekonomi dan status sosial


daftar pustaka:


Geldard, Kathryn & Geldard, David. (2011). Konseling Keluarga. Membangun Relasi untuk Saling Memandirikan Antar Anggota Keluarga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lestari, Sri. (2012). Psikologi Keluarga. Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Kencana.


Willis, Sofyan S. (2009). Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung: Alfabeta